Media Massa, Korban Kekerasan Seksual dan Peran Newsmaking Criminology

Sheila Rahmi JuwitaKriminologi 2014

Intip karya Sheila lainnya di blog: legacyinwords.wordpress.com


Hingga kini masyarakat masih dibayangi oleh norma-norma era Viktoria dimana perempuan ditempatkan pada posisi yang lemah (Foucault, 1997). Di saat itu, perempuan dianggap sebagai komoditas (pelengkap), dan konsekuensinya adalah perempuan diposisikan sebagai objek eksploitasi seksual. Persepsi masyarakat pun turut ambil andil dalam memperburuk kondisi ini, yaitu konstruksi sosial yang telah ada secara turun temurun yang menganggap bahwa seks adalah hal tabu.

Konstruksi sosial ini hadir dalam masyarakat dengan sistem patriarki, yaitu sistem yang meletakkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan. Rueda (2007) menyatakan bahwa patriariki adalah penyebab penindasan terhadap perempuan. Budaya patriarki ini secara turun temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender. Perempuan dalam masyarakat ptriarki diletakkan pada posisi inferior. Mereka biasanya tidak memiliki peran penting dalam masyarakat dan menjadi kaum inferior. Secara hakikat, perempuan tidak diciptakan sebagai makhluk inferior tetapi ia menjadi inferior karena struktur kekuasaan dalam masyarakat berada di tangan laki-laki.

Dalam diskursus tabu dan seksualitas pada masyarakat patriarki, Carol Smart (1995) mengatakan bahwa seksualitas semata dideterminasi berdasarkan atas falosentrisme (phallocentrism), di mana laki-laki lah yang memberikan definisi atas seksualitas maupun tabu yang melingkupinya. Hal ini sebelumnya pernah disinggung oleh Simone de Beauvoir (1974) mengenai mitos-mitos maskulin ketika membicarakan tentang sistem bahasa yang dikonstruksikan secara patriarkis. Seksualitas yang bercorak patriarkis tersebut begitu kuat dan mewarnai berbagai sektor kehidupan di Indonesia, termasuk dalam pemberitaan media massa.

Sejatinya media massa adalah refleksi dari kondisi sosial budaya masyarakat. Media massa dapat digunakan sebagai salah satu instrumen utama dalam membentuk konstruksi gender pada masyarakat. Namun pada kenyataannya, media massa masih memberi ruang bagi proses legitimasi bias gender, terutama dalam merepresentasi perempuan. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai citra dan teks pemberitaan, iklan, film, sinetron, dan produk media massa lainnya. Yang ditampilkan adalah kondisi perempuan sebagai objek, dengan visualisasi dan identifikasi tubuh seperti seksi, molek, dan lain sebagainya. Dalam pemberitaan kasus kriminal, perkosaan misalnya, perempuan juga sering digambarkan sebagai sosok yang seolah ikut andil sebagai penyebab perkosaan terjadi, bukan murni sebagai korban kejahatan kaum laki-laki.

Falosentrisme dalam Masyarakat Patriarki

Falosentrisme, seperti yang telah dibahas sebelumnya, merupakan penggambaran perempuan – tubuhnya, seksualitasnya, berdasarkan definisi yang bias dari sudut pandang laki-laki. Selama ini, yang terlihat dalam masyarakat Indonesia adalah seksualitas perempuan dikucilkan, direndahkan, bahkan dikonstruksikan secara tidak adil dalam suatu konstruksi ‘oposisi biner’ (binary opposition), yaitu suatu relasi baik-buruk, oleh pandangan falosentris. Seksualitas perempuan diletakkan pada kutub negatif sementara seksualitas laki-laki pada kutub positif. Pandangan ini jelas memberi nilai lebih pada seksualitas laki-laki.

Julia Kristeva (dalam Tong, 2008) seorang feminis posmodernis menuding kesalahan laki-laki dalam menafsirkan dan mendefinisikan tubuh perempuan. Laki-laki merasa merekalah yang paling tahu tentang perempuan, bahkan mereka menganggap seksualitas laki-laki dan perempuan sama.

Penggambaran seksualitas perempuan yang sangat falosentris ini membentuk pemahaman bahwa apa yang diinginkan oleh perempuan tentang seks adalah sama dengan yang diinginkan laki-laki. Akibatnya pemerkosaan, pelecehan seksual, penganiayaan, dan sebagainya menjadi suatu tindakan kesamaan seksual. Perempuan dan laki-laki dilihat dalam hubungan yang komplementer dan bipolar, yaitu bahwa jika laki-laki butuh melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan, demikian juga perempuan butuh kekerasan seksual dilakukan padanya. Hal ini yang membuat perempuan rentan terhadap pelecehan seksual dan tindak kekerasan seksual lainnya.

Berita-berita kriminal tentang pemerkosaan adalah pemberitaan yang sangat menyudutkan perempuan. Peristiwa pemerkosaan tidak diceritakan sebagai fakta kejahatan, tetapi dinarasikan dengan pengerotisasian peristiwanya. Pemilihan kata ‘menggagahi’, ‘menyikat’, ‘menggasak’, ‘menjantani’ cenderung memberi kesan lelaki pelaku pemerkosaan sebagai orang yang hebat, seolah seorang pahlawan yang menang perang. Sementara perempuan sebagai korban, tampil terpuruk dengan berbagai komentar miring. Perempuan yang menjadi korban pemerkosaan ketika dalam pemeriksaan polisi diinterogasi tanpa empati, bahkan cenderung sering disalahkan. Pemeriksaan menjadi ‘pemerkosaan’ yang kedua kali bagi perempuan. Perempuan korban pemerkosaan tidak lepas dari tindakan objektifikasi oleh pemberitaan media yang cenderung melukiskan peristiwa perkosaan secara pornografis.

Media Massa Sebagai Representasi Dunia Laki-Laki

Pandangan bahwa media massa sebagai dunia laki-laki digambarkan dengan hadirnya tiga persoalan bias gender. Pertama, seputar penggambaran sosok perempuan di media massa yang masih kurang sensitif gender dan menyudutkan posisi kaum perempuan. Dalam berita kriminal, perempuan banyak disorot terkait masalah kekerasan, korupsi, penganiayaan, dan pelecehan seksual. Perempuan digambarkan sebagai objek eksploitasi, sebagai tersangka, atau sebagai korban. Bahkan ada anggapan bahwa perempuan dianggap ‘memancing’ tindak kriminalitas atas diri mereka.

Persoalan kedua adalah minimnya keterlibatan perempuan dalam dunia jurnalistik. Keberadaan perempuan jurnalis baru mulai diakui dalam kurun waktu lima puluh tahun belakangan ini. Di Indonesia, jumlah jurnalis perempuan hanya sekitar 9.8% dari seluruh jumlah jurnalis laki-laki. Minimnya jumlah perempuan di media ini, menyebabkan kursi-kursi pengambil keputusan seperti pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, bahkan pemilik media, mayoritas ditempati oleh kaum laki-laki. Secara tidak langsung, hal ini membuat media massa lebih banyak menampung pemikiran-pemikiran laki-laki di dalamnya. Berbagai penelitian berskala global yang diadakan oleh The Global Media Monitoring Project (GMMP) sejak tahun 1995 mengenai komposisi gender dalam media (baik sebagai pembawa berita, jurnalis, maupun subyek pemberitaan) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan jumlah peran perempuan dalam media yang cukup signifikan. Namum demikian, penelitian GMMP ini secara konsisten menemukan bahwa laki-laki masih mendominasi posisi redaksi dan sebagai subyek pemberitaan, serta berita-berita yang disajikan media masih sangat bias gender di mana realitas mengenai perempuan, ketakutan dan kebutuhan mereka tidak dipertimbangkan.

Persoalan ketiga yaitu kepentingan media massa yang tidak lepas dari kepentingan bisnis dan politik. Terdapat anggapan bahwa bagi media, hal yang terpenting dalam penyajian berita adalah akurat, seimbang, serta penerapan kode etik yang setara tanpa mempertimbangkan persoalan gender di dalamnya. Sebagai sumber informasi bagi masyarakat, aktualitas dan faktualitas memang sudah menjadi tanggung jawab media massa. Tetapi ada nilai-nilai tertentu yang perlu mendapat perhatian, seperti unsur sensitifitas terhadap permasalahn gender. Isu-isu gender dan perempuan terkadang dipandang sebagai persoalan perempuan saja, bukan persoalan yang penting dan berpengaruh pada masyarakat. Hal ini juga menjadi fokus penelitian GMMP tahun 2005 yang menunjukkan bahwa pemberitaan media di berbagai negara masih kurang dalam hal analisis mendalam terhadap berita yang disajikan. Selain itu, berita yang disajikan cenderung depolitisasi dan normalisasi pelecehan seksual yang dialami perempuan.

Media, Konstruksi Realitas Sosial, dan Newsmaking Criminology

Istilah konstruksi realitas diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam buku The Social Construction of Reality. Realitas menurut Berger tidak dibentuk secara ilmiah tetapi dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman ini, realitas berwujud ganda. Setiap orang mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas, berdasarkan pengalaman, preferensi, pendidikan dan lingkungan sosial yang dimiliki masing-masing individu.  Lebih lanjut, gagasan Berger mengenai konteks media harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas, karena sangat potensial terjadi peristiwa sama dikonstruksikan secara berbeda. Tidak jarang pemaknaan yang dilakukan melalui media telah menempatkan posisi produk media sebagai bagian dari reaitas sosial itu sendiri. Artinya, realitas dengan seperangkat nilai yang terbangun melalui produk media akan dimaknai oleh alam pikiran khalayaknya sebagai sesuatu yang nyata terjadi, yang oleh Baudrillard disebut sebagai hiperrealitas. Dalam posisi semacam ini, citra relasi laki-laki dan perempuan dalam produk media berada pada posisi konformis, yaitu mendukung nilai atau norma yang telah ada di masyarakat.

Satu aspek media massa yang menarik untuk diamati adalah pembahasan dan gaya laporan pers terhadap perempuan sebagai suatu konsep sekaligus objek. Dengan bahasa media massa sebagai alat utamanya mampu mengkonstruksikan otak khalayak dengan olahan bahasa yang dipilih dan digunakan wartawannya. Kekerasan seksual yang ditampilkan media menunjukkan imajinasi seksual, menaikkan syahwat pembaca, dan menjadikan perempuan (korban) sebagai objek. Ketika perempuan korban kekerasan seksual terus menerus ditampilkan sebagai objek di media, maka khalayak laki-laki akan menerima pembenaran dalam memandang perempuan sebagai pemuas nafsu seksual laki-laki.

Dengan demikian, peran media massa dalam hal ini sama sekali tidak bisa dianggap remeh. Media massa bukan saja mengajarkan, tetapi juga meneguhkan skema yang sudah terbangun, memberi pembenaran, bahkan mendukung kondisi yang memfasilitasi praktek-praktek kekerasan seksual terhadap perempuan.

Dengan memperhatikan kecenderungan media massa dalam menyajikan pemberitaan kriminal yang bias seperti telah diuraikan sebelumnya, para kriminolog postmodern mengantisipasinya dengan membangun pemikiran “newsmaking criminology”. Newsmaking Criminology pertama kali digagas oleh Gregg Barak pada tahun 1988 dan kemudian terus dikembangkan oleh para kriminolog lainnya dan sosiolog seperti Stuart Henry, Cecil Greek, James Fox, dan John Levin (Barak, 1988; 2001; Henry, 1994, 1999; Greek, 1994; Fox & Levin, 1993). Gregg Barak memaksa agar para kriminolog berperan dalam memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai kejahatan kepada publik ketika media cenderung gagal dalam menjalankan tugas idealnya. Barak menyarankan cara-cara inovatif bagi para kriminolog untuk menjadi agen aktif yang terlibat dalam diskusi-diskusi bersama masyarakat luas melalui media.

Henry (1994) berpendapat bahwa para kriminolog perlu menjadi agen aktif dalam proses konstitutif. Bahwa para kriminolog harus aktif mengkonfrontasi dan menentang kebungkaman, mengidentifikasi kelalaian, dan membantu menciptakan pemberitaan yang sebenarnya mengenai kejahatan. Menurut Henry, para kriminolog telah terlalu lama bungkam mengenai aspek faktual dari kejahatan dan keadilan disaat mereka seharusnya bisa menjadi penengah dan agen aktif dalam menyajikan realitas kejahatan.

Henry menyarankan suatu wacana pengganti (replacement discourse) sebagai cara melawan kebungkaman. Wacana pengganti yang berkaitan dengan kejahatan tersebut akan membongkar pemahaman masyarakat yang telah ada mengenai realitas kejahatan. Namun demikian, Henry mengingatkan bahwa wacana pengganti ini tidak harus dinilai sebagai wacana oposisi, melainkan sebagai wacana pendukung yang mendekonstruksi kekuatan struktur makna yang telah ada dan kemudian menggantinya dengan konsepsi yang baru, kata-kata, frase yang menyajikan makna alternatif. Henry mengidentifikasi bebapa cara yang diterapkan dalam Newsmaking Criminology, yaitu (1) disputing data, (2) challenging journalism, (3) self-reporting, dan (4) confronting media. Pertama, proses disputing data melibatkan keahlian kriminolog dalam penggunaan data-data ahli dan akurat untuk mematahkan penyajian media atas kejahatan yang tidak akurat yang telah membentuk persepsi masyarakat terhadap realitas sosial. Kedua, para kriminolog dapat berperan sebagai jurnalis yang menyajikan berita kejahatan yang tidak bias. Ketiga, para kriminolog dapat membuat laporan mandiri (self-reporting). Dan cara keempat adalah kriminolog berperan sebagai ‘provokator’ dalam ranah pendidikan.

Barak (2007) berpendapat bahwa Newsmaking Criminology merupakan upaya untuk mengungkapkan dan mematahkan gambaran mengenai kejahatan dan penghukuman yang telah lama membudaya dan diyakini masyarakat dengan cara mengenalkan kepada masyarakat semua bentuk perilaku yang merugikan. Untuk mewujudkan hal ini, Newsmaking Criminology harus memiliki pengaruh kuat dalam memicu debat publik, perubahan pola pikir dan gagasan mengenai kejahatan yang selanjutnya dapat berpengaruh pada pembuatan kebijakan pengendalian kejahatan yang berlaku bagi semua perilaku kriminal yang merugikan masyarakat. Para kriminolog yang terlibat dalam Newsmaking Criminology dituntut untuk menguasai keahlian dalam berkomunikasi dan menerapkannya dalam semua bentuk mekanisme media massa seperti radio, televisi, blog, media cetak dan lain sebagainya.

Dalam kaitannya dengan korban kekerasan seksual, Newsmaking Criminology dapat berperan dalam mendekonstruksi budaya patriarki yang dominan, sehingga sampai pada pemahaman bahwa kekerasan seksual terjadi bukan karena representasi perempuan dalam hal berpakaian atau berekspresi melainkan karena budaya patriarki yang memandang perempuan sebagai objek. Selain mendekonstruksi, Newsmaking Criminology juga berperan dalam merekonstruksi kebebasan serta kesetaraan gender dalam masyarakat.


Referensi:

  • Barak, Gregg (2007). Doing Newsmaking Criminology from within the Academy dalam Theoretical Criminology, May 2007 vol. 11 no. 2.
  • Beauvoir, Simone de. (1974). The Second Sex. New York: Vintage Books.
  • (2002). Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKIS.
  • Foucault, Michel. (1997). History of Sexuality, Sex and Power. New York: Scholastic
  • Henry, Stuart. (1994). Newsmaking Criminology as Replacement Discourse: Media, Process and The Social Construction of Crime. New York: Garland Publishing
  • Jurnal Perempuan. (2003). Perempuan dan Media. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
  • Piliang, Yasraf Amir. (2000). Pers dalam Kontradiksi Kapitaisme Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
  • Rueda, Marisa dkk. (2007). Feminisme Untuk Pemula. Yogyakarta: Resist Book
  • Smart, Carol. (1995). Law, Crime and Sexuality: Essays in Feminism. SAGE Publication
  • Tong, Rosemary Putnam. (2008). Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, third edition. San Fransisco: Westview Press.
  • Warhol, Robyn dan Diane Price Herndl (Ed.) (1991). Feminism: An Anthology of Literary Theory and Criticism. USA: Rutgers



Leave a comment