點穴 dan Dia

Tiur Hermawaty Simatupang, Kriminologi 2013

 


Malam ini hujan rintik-rintik meski ruangan ini tetap hangat, aku berperang berusaha mendinginkan hatiku yang sedang panas. Bukan hanya panas, jika ada pengukur suhu yang bisa kugunakan, mungkin derajatnya lebih dari air mendidih. Silahkan sebut aku berlebihan, tapi dengarkan dulu kisahku, yang membuat aku menyesal dan menyalahkan diri sendiri, hingga waktu itu tiba.

“Petunjuk untuk hadiah terakhirku, aku selipkan di novel kesayanganmu, di antara halaman 437- 438”, aku membaca pesan itu untuk kedua kalinya.

“Hmmm tidak bosan-bosannya dia membujukku, novel kesayangan katanya? Padahal novelku cuma 1, dan dia yang memberikannya, mungkin mau membuatku berubah pikiran?”, kataku dalam hati tentu saja.

Tak lama kemudian aku tersadar, tulisan itu memang terlihat biasa, aku langsung berlari ke ruanganku, menarik mungkin satu-satunya novel disini. Benar tebakanku, bahkan tidak ada selipan apapun, lagipula mana mungkin terdapat selipan di antara halaman ganjil ke genap, yang ada hanya tanda merah, menggarisbawahi empat kata terakhir di halaman itu. Inferno karya Dan Brown, artinya neraka, yang memang tidak jauh berbeda dengan hidupku. Sebentar, apa kata-kata yang digarisbawahi itu. Aku terdiam lama menatap kata-kata itu dan meresapinya, dia memang penuh tanda tanya.

dan waktu mulai habis.[]

 

Di bagian lain, keesokan harinya…

Pria itu mengetukkan tangannya ke meja persegi panjang dengan irama teratur, pembawaannya tenang, namun tidak dapat menutupi kecemasan di wajahnya. Arnold, pria itu, masih tidak habis pikir dengan apa yang dilihatnya pagi ini.

Kantor Arnold memang tidak ramai, dia yang membangun sendiri perusahaan ini, tidak terlalu besar, bergerak di bidang barang dan jasa serta berusaha memenangkan setiap tender yang sesuai. Usahanya sejak lama itu mulai membuahkan hasil, ia dapat menaikkan standar perusahannya yang dulunya adalah perseroan komanditer ke perusahaan kelas menengah.

Pagi ini, kantor yang biasanya tidak terlalu ramai itu, terlihat lebih sunyi, bahkan Santoso satpam satu-satunya tidak menampakkan diri. Arnold menggeser pintu kaca dan masuk ke dalam, tidak terkunci dan sepi, perpaduan tepat untuk maling, tapi Arnold berpikir lagi apa yang mau dicuri dari kantor ini? Dua unit komputer model lama lengkap dengan monitor dan CPU setebal kulkas, pasti cukup melelahkan bagi pencuri. Arnold melangkahkan kaki ke lorong setelah ruangan utama, berniat ke toilet.

“Dek, bagaimana diskusi tender kemarin?” Arnold batal ke toilet melihat Deka menunduk di mejanya. Tidak ada jawabannya, Deka memang hobi tertidur, untung saja kerjanya teliti dan bagus jadi Arnold bisa memaafkannya. Arnold ingin membiarkan Deka tidur saja, tetapi kemudian ia ingat siang ini harus ada keputusan mengenai tender penting itu, Arnold pun mengguncang tubuh Deka. Betapa kagetnya Arnold melihat Deka terjatuh tanpa tenaga, ia memegang nadinya, dan ternyata Deka meninggal.

Arnold mengetukkan tangannya ke meja persegi panjang dengan irama teratur, pembawaannya tenang, namun tidak dapat menutupi kecemasan di wajahnya.

“Bagaimana bisa Deka meninggal di kantormu?” Cindy, istri Arnold merusak lamunannya yang tak berisi.

“Mana ku tahu, datang-datang aku pun kaget, yang penting sudah diurus sama polisi” kata Arnold.

“Apa kamu tidak penasaran? Kenapa dan siapa? Nanti kalau kau yang tiba-tiba jadi mayat bagaimana?” lanjut Cindy lagi.

“Ya jelas aku penasaran, tapi mau gimana? Kita tunggu saja kabar dan update dari polisi” Arnold membuka tabnya, mencoba mengalihkan perhatiannya dari kematian Deka.

Arnold berpikir heran, bagaimana bisa si monster ini bertanya dan mau berkata-kata pada dirinya, biasanya saja langsung mengamuk tidak jelas, Arnold sampai mengira dia anti-social melupakan kenyataan istrinya pernah sangat manis, dan dikejar-kejar lelaki seluruh kalangan sewaktu kuliah.

“Jangan kaget aku berbicara padamu, anggap saja untuk yang terakhir sebelum kita resmi bercerai”, lanjut Cindy menjawab pertanyaan Arnold yang bahkan tidak terucapkan.

Arnold tidak menyangka, kehidupan pernikahannya nyaris berakhir, dia memang brengsek, Arnold tahu perselingkuhan jelas menyakitkan bagi setiap istri, apalagi menyaksikannya secara langsung. Di dalam hati, Arnold ingin sekali membela diri bahwa ia tidak bersalah, ia bahkan tidak menyadari bahwa malam itu akan berakhir dengan malapetaka. Reuni sekolah yang seharusnya jadi ajang membahagiakan, membuatnya mabuk, kebetulan Cindy tidak bisa ikut karena ingin menjenguk temannya di rumah sakit, jadilah Arnold di antar pulang oleh temannya, dan Arnold tidak tahu bahwa teman perempuannya bisa sejalang itu, mencium Arnold di ruang tamu rumahnya sendiri, Arnold yang setengah sadar hanya mengira itu Cindy, dan sialnya Cindy kemudian melihat, dan hubungan mereka tak baik hingga sekarang.

Bunyi telepon membangunkan Arnold dari tidur siang menjelang sorenya, tepat seminggu setelah kasus kematian Deka di kantornya.

“Pak Arnold, kami dari kepolisian tidak menemukan tanda-tanda kekerasan di tubuh Deka, bukan pembunuhan, dan tidak ada keracunan, karena Deka sudah tidak memiliki orang tua, kami hanya mengikuti kata adik ibunya yang tidak ingin memperpanjang masalah ini, karena juga tidak ditemukan keanehan pada Deka, sudah ajal begitu katanya”.

Arnold heran, apa memang ajal bisa seaneh itu, Deka sepertinya tidak pernah riwayat penyakit serius, “sepertinya mungkin jantung, atau aku saja yang tidak tahu dia berpenyakit, lebih baik mencari pengganti Deka”, pikir Arnold dalam hati.

“Arnold?”

Arnold melihat kearah pintu kamar, itu Cindy.

“Ya?”

Cindy berlari memeluk Arnold dan terisak.

“Maafkan aku Arnold, aku baru mengetahui perihal perempuan jalang itu, aku baru sadar penjelasanmu benar, aku salah paham”, Cindy masih terus menangis.

Arnold terdiam, dalam hati ia senang Cindy kembali.

 

Hingga satu tahun kemudian…….

Minggu sore, Cindy bersama teman-temannya masih dalam perjalanan dari puncak. Arnold setelah mandi, merasa agak sakit kepala, isi kotak P3K di dapur baru kemarin dibuang Cindy karena sudah banyak yang expired.

“Biasanya Cindy nyimpan obat dimana lagi ya?” tanyanya dalam hati, mengingat istrinya masih sering menyimpan obat-obatan ringan.

Arnold membongkar laci-laci di kamar, nihil, ia ingin tidur saja, tapi apa itu? Sebuah kotak beludru ungu, di laci ke dua dari bawah, letaknya agak di dalam. Sudah pasti ini milik istrinya, seperti kotak perhiasan tetapi Arnold tidak pernah melihatnya, penasaran juga dengan emas milik Cindy, dibukanya kotak itu.

 

Percaya padaku perasaan tidak akan berlalu cepat seperti angin bahkan ia terkadang menyejukkan dan datang lagi dan lagi. Percaya padaku perasaan dapat membuatmu diam layaknya karang yang diterpa ombak kesakitan dan terkikis tetapi tak dapat beranjak dan lari.

Cinta itu buta

Sering mengada-ngada

Manis namun berbisa

Cinta itu membuat lupa

Rasanya seperti ada

Tapi hanya halusinasi belaka

Cinta bilangnya

Namun penuh selimut dusta

Katanya berjuang bersama

Tapi hanya bohong belaka

Cinta katanya bikin bahagia

Jalang jangan percaya

Itu hanya kata-kata tak bermakna

Jika sudah terukir luka

Kadang merasa hedonophobia

Tapi benar bahagia tak mungkin lama

 

Tulisan itu pasti karya Cindy, Arnold mengenal tulisan tangan yang rapi itu. Arnold tersenyum, dari dulu Cindy memang suka menulis, puisi salah satunya. Ia tak menyadari betapa puisi-puisi itu bukan untuknya, melainkan untuk dia.

Satu kertas lagi, dibalik kumpulan kertas puisi. Kertas itu penuh dengan gambar tubuh manusia dengan titik-titik seperti akupuntur, dengan sebagian narasi China kuno.

 

 

 

Satu tahun sebelumnya….

Aku mencintainya, dia mencintaiku, tapi dia tak pernah setia, hatinya tetap untuk katanya walau dia berhubungan dengan banyak perempuan. Biar impas katanya, iya memang aku bersuami, tapi ini juga karena dia. Arnold pria baik dan mapan, walau dari segi tampang jelas dia menang jauh. Aku dan dia berhubungan sejak SMA, aku siswi pindahan dari China, setelah kakekku meninggal dan aku dibawa oleh Ibu ke Indonesia. Aku gagap berinteraksi pada awalnya, tetapi dia selalu membantuku, lama kelamaan dari bantuan-bantuannya, aku mulai jatuh cinta.

Hingga tiba saat kelulusan, aku tidak melihatnya lagi, begitu pula dengan tahun-tahun perkuliahanku sepi tanpa dia. Arnold si baik mulai mendekatiku, dan aku mencoba membuka diri. Kami berpacaran lalu memutuskan untuk menikah, hingga suatu hari aku bertemu lagi dengan dia.

“Aku akan membatalkan pernikahanku ka”, kataku kepada dia.

Dia menolak usulku, mengatakan kami akan tetap bersama walau aku sudah menikah nanti.

“Aku belum mampu menafkahimu seperti Arnold, bahkan untuk hidup aku susah semenjak orangtuaku bangkrut dan meninggal, nikahi Arnold, dan bantu aku, kita akan bahagia suatu saat”.

Jadilah aku menikah dengan Arnold, dia sangat baik, dan aku sangat jahat. Aku mengenalkan dia kepada Arnold, hingga Arnold dengan rekomendasiku mengajak dia bekerja di perusahaannya. Untuk dapat kembali pada dia, aku juga menyusun rencana untuk berpisah dengan Arnold. Hal yang mudah, meminta bantuan temanku yang juga teman SMA Arnold, kebetulan perempuan itu bodoh dan memang terkenal bisa dibayar.

Aku dan dia telah berjanji untuk mengakhiri permainan ini. Aku akan menceraikan Arnold, dan dia akan kembali kepadaku seutuhnya. Itu janji kami, dan bodohnya aku selalu percaya kepada dia.

Hingga pada suatu hari, dia berhasil membuatku merasa dipermainkan, merasa apa yang sudah kulakukan selama ini sia-sia.

“Buat apa kamu bercerai, Cin? Arnold itu mencintaimu.”

“Lalu bagaimana dengan kamu? Kamu tidak mencintaiku?”

“Aku hanya merasa bahwa kita memang tidak ditakdirkan bersama, Cin.”

“Pembohong, pasti ada alasan lain kan? Pasti ada perempuan lain kan?”

“Akan selalu ada perempuan lain Cin, kamu tau aku.”

 

Sebut aku gila, tapi aku gila karena dia.

Sejak dulu, aku suka memberinya kejutan dengan puisi atau dengan kode-kode.

Hingga aku memutuskan, ini kejutan terakhir untuk dia.

Satu kertas lagi, dibalik kumpulan kertas puisi. Kertas itu penuh dengan gambar tubuh manusia dengan titik-titik seperti akupuntur, dengan sebagian narasi China kuno…

 

Screen Shot 2016-06-15 at 9.40.51 PM

Screen Shot 2016-06-15 at 9.41.39 PM



 


Leave a comment