Teka Teki Mawar Hitam

karya Aulia Aminda, Kriminologi 2013

 


Aku benci kota ini. Baru 2 bulan aku tinggal disini dan tidak kutemukan satu pun hal menarik di kota kecil ini. Kuhisap rokokku dalam-dalam dan kuhembuskan asapnya dengan gusar. Kalau bukan karena pekerjaan yang diberikan atasanku, hidupku tak harus berakhir di kota bebal ini. Kurebahkan tubuhku ke sofaku yang menghadap ke arah jendela kamarku. Aku masih tenggelam dalam pikiranku ketika pintu kamarku diketuk dari luar. Kukernyitkan dahiku, menatap ke arah pintu dengan kebingungan. Sudah lama aku tak menerima tamu sehingga terasa aneh bagiku untuk menerima kedatangan seseorang. Apalagi di tengah malam yang sepi ini. Aku mengintip dari lubang tamu di pintu. Seorang laki-laki. Ada rokok di mulutnya dan mukanya terasa familiar bagiku. Kulongokkan sedikit mukaku dari balik pintu.

“Ya? Ada yang bisa saya bantu?’ ujarku berusaha untuk bersikap biasa saja. Ia tersenyum.

“Hai. Aku Jo, tetangga sebelah kamarmu. Hanya ingin menyapa saja. Ini, ada beberapa minuman dan rokok. Boleh aku masuk?”

Ah, aku ingat sekarang. Ia memang tinggal di sebelah kamarku. Dua bulan ini aku memang tidak terlalu banyak bergaul dengan orang-orang di sekitar kamarku. Selepas kerja aku langsung mengunci rapat kamarku dan berangkat kerja esoknya di pagi-pagi buta. Aku berdeham kecil sembari membuka pintu untuknya,

“Silahkan masuk. Maaf ruangannya berantakan.” Ia tertawa kecil sambil melangkah masuk ke dalam kamarku.

“Hahaha, untuk ukuran laki-laki kamar ini cukup rapi. Oh, aku belum tahu namamu. Namamu si..”

“Alex. Kau bisa duduk disitu. Apa yang membawamu kemari?” potongku cepat. Ia kembali tersenyum.

“Tenang, sobat. Aku tidak memiliki maksud apa-apa. Hanya ingin berkenalan saja. Aku penghuni lama disini dan penghuni sebelum kau adalah teman baikku. Makanya aku penasaran siapa yang menjadi tetanggaku selanjutnya.” ujarnya sambil membuka sebotol bir yang dibawanya sendiri, meneguknya dan berkata,

“Kau cukup hati-hati dengan orang baru.”

“Aku sudah terbiasa untuk tidak langsung percaya dengan orang.” jawabku berusaha untuk lebih santai. Ia tertawa kecil.

“Tenang saja. Aku bukan orang jahat, pak polisi.” candanya.

“Sedikit lagi, bung,” balasku sambil tersenyum. Yah, mungkin sudah saatnya aku mencari teman dan ia sepertinya bisa kupercaya.

“Aku detektif.” Lanjutku setengah berbisik. Raut wajahnya seketika berubah. Namun anehnya ia cukup tenang dibanding respon orang kebanyakan.

“Menarik. Apa yang membuatmu kemari, Lex?” tanyanya lagi.

“Kasus penggelapan uang biasa. Tapi ada orang penting di dalamnya sehingga mau tak mau aku harus serius mengerjakannya hingga harus kesini. Kau sendiri bagaimana?” tanyaku lebih santai.

“Aku kerja di bar dekat sini. Kalo kau mencari minuman enak, kau bisa datang kepadaku. Kota ini memang kecil, tidak banyak yang ditawarkannya. Tapi kuberitahu kau satu hal, kehidupan malam disini cukup menarik kalau kau tahu apa maksudku.” ujarnya sambil tersenyum penuh arti. Aku menatapnya penuh tanda tanya, tanda tak mengerti.

“Kau harus ikut aku sekali-kali ke bar. Mungkin ada beberapa hal yang akan menarik perhatianmu.” tandasnya sambil menghabiskan minumannya. Malam itu, kami berbincang panjang lebar tentang berbagai hal dan menghabiskan banyak kaleng bir. Ia pribadi yang cukup menyenangkan dan terus terang, aku memang butuh teman disini.

Kuputuskan untuk mengunjunginya di bar selepas pulang kerja. Tak sulit untuk menemukan Blues Bar karena letaknya yang ternyata hanya berbeda beberapa blok saja dari rusun tempat tinggalku. Kurasa aku harus benar-benar mencoba untuk menjelajahi kota kecil ini.

“Hei, Alex!” sapanya ramah ketika melihatku. Jo kembali melayani pelanggannya. Kulihat sekeliling bar ini. Bar ini cukup ramai dan kasual. Mungkin tempat ini bisa kujadikan tempat melepas penat sekaligus menambah informasi terkait kasus yang sedang kukerjakan. Aku mendekati Jo lagi.

“Jo, kau bilang ada hal menarik bagiku yang ingin kau perlihatkan. Apa ini berkaitan dengan pekerjaanku?” Ia tersenyum.

“Sebenarnya ada hal lain, Lex.” ucap Joe, menggantung.

“Ayo ikut denganku.” ujarnya sambil beranjak pergi. Kuikuti Jo ke ruangannya yang sempit di belakang bar. Ia membuka laci mejanya dan mengambil sebuah map berukuran sedang.

“Bukalah.” Jo menatapku dengan raut wajah yang tak bisa kutebak. Perlahan, kubuka map berwarna hitam polos itu dengan hati-hati.

Sesuatu di dalamnya cukup membuatku kaget. Terdapat 3 foto mayat pria, beberapa kertas berkas dari kepolisian setempat dan sebuah kantong plastik. Dahiku mengernyit. Kubaca berkasnya dengan seksama. Pembunuhan berantai rupanya. Sepertinya aku pernah membacanya sekilas di koran. Namun kasus ini anehnya cepat menghilang dari peredaran. Kasus pembunuhan pertama dan kedua terjadi sekitar 6 bulan yang lalu. Pembunuhan terakhir terjadi sekitar 3 bulan yang lalu, tepat sebulan sebelum aku menetap di kota ini. Modus operandinya sama, tenggorokan ketiganya digorok dan isi perutnya dikeluarkan. Terdapat simbol mawar hitam di ketiga korban ini. Catatan viktimologi korban di berkas itu pun tak terlalu membantu. Yah, apa korelasi dari seorang koki, auditor dan pemusik, dengan rentang umur 29 hingga 35 tahun? Aku bergidik ngeri membayangkan kasus ini. Caranya membunuh mengingatkanku pada Jack the Ripper, pembunuh berantai legendaris itu.

“Menarik, bukan?” tanya Jo memecah keheningan yang menguasai kami berdua karena aku terlalu fokus pada berkas-berkas itu.

“Aku pernah dengar sedikit tentang kasus ini. Terus terang, kasus ini aneh. Kenapa kasus ini seakan menghilang dari media? Aku tahu tabiat para wartawan dan penggiat media. Kasus dengan modus sadis dan berulang semacam ini pasti punya nilai berita yang bagus.” tanyaku tak mengerti.

“Memang disembunyikan. Kuncinya di korban kedua. Anak dari anggota dewan kota ini. Ditemukan mati tak jauh dari rumah bordil di belakang rumah susun kita. Rumah bordil, Alex. Kau paham maksudku? Ayahnya mati-matian membungkam mulut wartawan dan polisi-polisi korup itu.” ujar Jo sambil menyalakan rokoknya. Aku mengangguk tanda mengerti. Sulit memang jika harus berurusan dengan citra dan jabatan birokrat itu. Tapi dengan kasus sebesar dan semacam ini? Perhatianku kemudian terarah pada kantong plastik hitam dari dalam map. Terdapat 3 helai kertas hasil fotokopi di dalamnya, sepertinya petunjuk dari pelaku. Surat pertama bertuliskan, Ia meminta untuk dibunuh. Surat kedua bertuliskan, Aku tidak bisa menahannya. Terakhir, surat ketiga bertuliskan, Seharusnya ia bisa menjaga diri. Darimana Jo mendapatkan semua infromasi, berkas dan alat-alat bukti ini?

“Aku tahu kasus penggelapan uang itu tak menarik minatmu sedikitpun, Lex.” Jo sekali lagi memecah konsentrasiku pada ‘mainan’ yang ia tunjukkan.

“Seperti yang pernah kukatakan, kota ini cukup menarik, khususnya bagi orang-orang sepertimu.” Ia tersenyum simpul.

“Ikutlah denganku dalam kasus ini.” ucapnya sambil menyodorkan tangan meminta persetujuan dariku.

“Bersiaplah untuk kasus yang lebih menantang.” Aku kembali menatap Jo kebingungan. Dengan berkas dan akses menuju sebuah kasus tersembunyi sebanyak dan selengkap ini; siapa Jo sebenarnya?

 


Lex, ke bar sekarang. Ada yang ingin kutunjukkan. Sebuah pesan singkat dari Jo memecah konsentrasiku dari berkas kasus penggelapan uang yang sedang kukerjakan. Terus terang, aku senang mendapatkan tawaran ini. Akhirnya ada alasan agar aku bisa bebas dari kasus yang membosankan ini. Kuputuskan untuk menerima tawaran Jo semalam untuk membantunya dalam kasus pembunuhan berantai itu. Jo benar, aku memang lebih cocok bekerja untuk kasus yang menantang seperti ini. Meskipun identitas Jo dan keterkaitannya dengan kasus ini masih menjadi misteri buatku, setidaknya sekarang aku punya alasan untuk mulai menyukai kota ini. Aku bergegas menuju bar. Sesampainya di bar, Jo langsung mengajakku ke ruangannya dan memberikan sebuah kertas. Ada mayat lagi rupanya. Kali ini lokasi penemuannya lebih jauh, mayatnya ditemukan terbujur kaku di depan rumahnya sendiri yang terletak di pinggir kota kecil ini. Aku dan Jo segera ke TKP. Jangan tanyakan aku bagaimana kami bisa punya akses kesana; hanya Jo yang benar-benar tahu. Sesampainya di TKP, garis polisi sudah terpasang di depan rumah korban. Jo dengan percaya diri mengajakku untuk menerobos masuk ke dalam rombongan petugas yang sedang mengelilingi mayat. Seperti biasa, tenggorokannya digorok dan isi perutnya dikeluarkan.

“Takut?” tanya Jo menggodaku. Aku menggeleng cepat.

“Waktu kematian sekitar 10-11 jam lalu. Pelakunya mulai beraksi lagi sepertinya.” Seorang petugas polisi menjelaskan kepada Jo.

“Kali ini siapa korban kita, Alan?” tanya Jo sambil mencoba memperhatikan luka korban.

“Namanya Ray, 41 tahun. Seorang broker rumah. Kasus ini makin sulit saja.”

“Ada petunjuk lain?” tanya Jo lagi. Alan, petugas polisi itu, menunjukkan selembar kertas yang sudah terlipat-lipat kecil.

“Surat dari pelaku seperti kasus sebelumnya. Ada di mulut korban.” Jo mengambil kertas itu dengan sarung tangan. Kali ini surat itu bertuliskan,

“Ia pantas menerimanya.”.

“Aneh.” Ucapanku membuat petugas memandangku dengan heran dan dengan segera Jo memberi kode bahwa aku adalah temannya. Aku melanjutkan kalimatku,

“Pelaku pembunuhan berantai seperti ini biasanya menggunakan surat ini untuk memamerkan kejahatan atau mencoba untuk mengejek orang seperti kita. Tapi surat ini dan sebelumnya.. Lebih menunjukkan alasan mengapa ia membunuh.”

“Jadi maksudmu, pelaku ingin kita tahu kalau korban-korban ini pantas untuk dibunuh?” tanya Jo. Aku mengangguk.

“Boleh aku ikut proses otopsi?” Jo dan Alan saling berpandangan.

“Jika Alan mengizinkan.”

 


Aku lupa jika bau ruang otopsi selalu membuatku mual. Aku dan Jo atas persetujuan Alan akhirnya bisa ikut dalam proses otopsi korban satu ini.

“Daun telinganya sengaja dipotong. Dan lagi-lagi… 4 lapisan jaringan lemak yang terpotong bagai mentega… Kasus lama terulang kembali.” jelas dokter bedah paruh baya itu sambil berusaha memperhatikan detil dari korban.

“Seperti biasa, potongan tubuh ini metodis. Seperti dilakukan oleh seseorang yang memang ahli di bidang ini.”

“Kau memang biasa menangani kasus semacam ini?” tanyaku polos. Ia menatapku sambil tersenyum,

“Tak banyak pelaku kejahatan yang ahli di bidang ini, nak. Kau takkan pernah lupa dengan kasus semacam ini”.

“Coba koreksi jika aku salah, Tom. Aku tak melihat adanya tanda-tanda perlawanan dari pria ini. Sepertinya serangan dadakan.” Asumsi Jo. Tom, dokter itu, mengangguk kecil.

“Kau semakin lihai, Jo. Tebakanku adalah pelakunya mungkin orang yang memang bekerja di bidang sama sepertiku. Potongan di tubuh korban terlalu rapi, kukira aku sedang melihat tubuh untuk ujian bedah mayat.” Aku tersentak mendengar perkataan Tom. Astaga, apa orang ini benar-benar meniru Jack the Ripper seperti asumsi awalku? Jack the Ripper dipercaya memiliki latar belakang medis karena luka pada korbannya yang memang seakan dibedah. Dan, daun telinga yang terpotong ini.. Seperti yang dilakukannya pada korbannya yang bernama Catherine Eddowes; sebelum akhirnya ia melakukan pembunuhan yang kedua di hari yang sama setelah membunuh Eddowes. Hal ini akhirnya dikenal dengan pembunuhan ganda Ripper.

“Apa ada organ tubuh yang diambil?” tanyaku lagi pada Tom. “Seingatku, untuk korban yang kedua, organ ginjalnya memang diambil.” Aku tetegun mendengar penjelasan Tom. Pelaku ini benar-benar meniru Jack the Ripper!

“Jo, kurasa kita punya pembunuh peniru disini.” Ucapku pada Jo. Kujelaskan latar belakang Jack the Ripper dan kemiripannya dengan pelaku. Jo terlihat terkejut mendengar penjelasanku.

“Kau mungkin benar, Lex. Kita harus segera melaporkan hal ini kepada Alan.” Aku mengangguk pasti. Dan jika aku memang benar… ‘Jack the Ripper’ ini pasti akan melakukan pembunuhan lagi malam ini.

 


“Korban bernama Kris, 31 tahun. Bekerja sebagai pengacara.” Alan kembali memanggilku dan Jo ke TKP. Dugaanku ternyata benar, ia membunuh lagi malam ini. TKP kali ini sangat dekat dengan Blues Bar. Modus operandi dan petunjuknya sama; surat bertuliskan “Aku hampir selesai” di mulut korban dan tanda mawar hitam di tangannya. Jo mencoba untuk meminta keterangan dari saksi, yang notabene adalah pelanggannya sehari-hari.

“Aku kenal Kris. Ia orang yang baik, tapi cukup jarang untuk datang kesini.” Lapor Jo setelah menanyai beberapa pelanggannya.

“Sepertinya korban kita ini sedang mengadakan pesta lajang hari ini. Tragis sekali.”

“Stafku sudah mencoba untuk menemui calon istrinya. Sulit untuk membawa kabar ini baginya.” Ujar Alan.

“Sudah coba kau tanyai teman-temannya yang sedang bersamanya saat itu?” tanyaku pada Alan.

“Sudah. Temannya mengatakan jika Kris minta ijin untuk keluar sebentar dari pesta sekitar pukul 10 malam. Mereka mabuk saat itu dan tak bertemu lagi dengan Kris hingga akhirnya ia sudah menjadi mayat.” Aku menatap iba kepada Alan yang terlihat kelelahan. Kasus ini pasti menyita banyak waktunya.

“Alan,” Kutepuk pelan bahunya dan menyodorkannya minuman yang kubawa dari kulkas kamarku.

“Tanda mawar hitam itu sudah kau temukan artinya?” Ia meneguk minumannya sekali dan menatapku dengan tatapan menerawang.

“Jika aku tahu, pasti sekarang aku sudah berkutat dengan kasus lainnya, kawan. Tapi.. Entahlah. Mawar hitam ini hampir mirip dengan logo bar favoritku dulu. Tapi sekarang bar itu sudah tutup. Kurasa tak ada hubungannya lagi, bukan? Sayang sekali, mereka menyediakan minuman terbaik di kota ini.” Aku menganggukkan kepalaku dan kembali sibuk dengan pikiranku. Aneh. Apa yang bisa membuat Kris keluar meninggalkan teman-temannya di malam pesta lajangnya sendiri? Dan apa maksud tanda itu? Jo sepertinya satu pemikiran denganku.

“Hmmm, apa yang membuat Kris bisa pergi dari pesta lajangnya sendiri?” tanya Jo, mencoba membuka perdebatan. Hal itu tak berlangsung lama ketika kami berdua saling berpandangan dan secara serempak mengamini pemikiran masing-masing dalam hati. Ibarat hewan, Kris adalah rusa yang selalu datang dan pergi dengan cara bergerombol dengan teman-temannya. Pelaku yang menjadi singa, hanya cukup duduk dan mengamati Kris hingga akhirnya ia sendiri, rentan dan tak berada dalam jangkauan teman-temannya. Apa yang membuat Kris, seorang laki-laki tulen, akan meninggalkan teman-temannya di malam para pria berkumpul dan mencari kesenangan bersama?

“Sepertinya pelaku kita adalah perempuan…”

 


Pelaku kami adalah perempuan! Setelah sekian lama buntu, kasus ini mulai menunjukkan titik terang! Aku tahu ini masih dugaan semata, tapi hal ini cukup membuatku girang. Kasus penggelapan uang itu memang terpaksa jadi terbengkalai, tapi setidaknya kasus pembunuhan ini menjadi sebuah mainan baruku yang menyenangkan. Aku tenggelam makin dalam untuk kasus ini. Kami memutuskan untuk mulai kembali mencoba memecahkan arti surat yang dikirimkan oleh pelaku.

“Sepertinya ucapanmu benar, Lex. Aku juga merasa bahwa pelaku mencoba untuk menjelaskan mengapa ia membunuh,” ucap Jo sambil membaca surat-surat itu. “Ia pantas dibunuhIa memintanya.. Pelaku benar-benar seperti menunjukkan bahwa korbannya pantas untuk mati.” Aku mengangguk.

“Dan jika ia memang benar-benar perempuan… Bagaimana jika kata-kata dalam suratnya itu adalah cara pelaku untuk berkaca terhadap kasus yang ia alami sendiri? Seperti korban perkosaan atau kekerasan lainnya mungkin? Coba baca baik-baik, kawan. Kata-kata yang ia gunakan adalah kata-kata yang familiar sekali bagi korban perkosaan. ”

“Perempuan memang tak pernah punya pilihan ketika menjadi korban di dunia ini. Mungkin kata-kata ini bisa saja menjadi kata yang diterimanya juga ya.. Hmm, hal ini cukup masuk akal.” Jo mencoba Kami pun memutuskan untuk berbagi tugas; Alan dan stafnya akan berusaha mewawancarai saksi dan keluarga korban. Sedangkan aku dan Jo akan berusaha mencari data terkait kasus yang melibatkan perempuan, termasuk kasus perkosaan di dalamnya. Aku berusaha menghubungi beberapa teman wartawanku yang paham dan fokus dengan berita semacam ini. Sedangkan Jo berusaha untuk menggali informasi seputar korban dengan memanfaatkan posisinya di bar. Pencarian kami membuahkan hasil. Jo mengenalkanku pada Robin, mantan bartender di beberapa bar di kota ini. Seperti bartender pada umumnya, ia orang yang ramah dan punya banyak informasi menarik.

“Umurku masih 18 tahun ketika aku bekerja di salah satu bar paling laris di kota ini pada masanya. Sayang, bar itu sudah tutup 6 tahun yang lalu.” Robin melanjutkan ceritanya.

“Salah satu pelanggan setiaku adalah Alan, teman polisimu itu, Jo. Saat itu ia masih junior dan seringkali datang ke bar untuk sekedar bercerita tentang pengalamannya sehari-hari menjadi polisi.” Aku tersentak kaget. Apa ini sama dengan bar yang diceritakan Alan waktu itu?

“Rob, apa nama bar tempatmu bekerja?” “Black Rose, Lex. Ah, aku rindu tempat itu.” Aku hampir lompat dari kursiku mendengar jawaban Robin.

“Apa kau pernah tahu atau kenal dengan perempuan pelanggan barmu yang mungkin terlibat dengan kasus perkosaan atau pelecehan seksual?” Robin terdiam mendengar pertanyaanku, hingga akhirnya ia menjawab,

“Aku sudah agak lupa. Tapi memang dulu pernah ada kasus semacam itu di bar kami. Seorang perempuan diperkosa di belakang bar oleh beberapa laki-laki, yang sialnya, adalah pelanggan setia barku. Barku langsung ditutup setelah insiden itu. Mungkin kau bisa tanya Alan. Ia tentu lebih tahu daripada aku.” Aku dan Jo saling berpandangan. Ada yang tidak beres. Kami harus benar-benar mencari Alan malam ini.

 


“Bagaimana bisa kau lupa dengan kasus semacam itu, Lan?” tanya Jo tak sabar kepada Alan. Alan duduk terpekur menatap Jo dari balik meja kerjanya. “Kasus itu sudah lama sekali, Jo.” ucapnya lemah. Aku berusaha menenangkan Jo. Terlalu terburu-terburu memang untuk mengatakan bahwa Alan untuk tahu atau bahkan terlibat dalam kasus pemerkosaan itu. Namun tanda mawar hitam di tubuh korban itu tak bisa berbohong. Tanda itu memang benar-benar lambang dari Black Rose, bar favorit Alan dulu.

“Alan, coba ceritakan saja apa yang kau tahu dan yang harus kami ketahui.” Ujarku sambil mendekati Alan. Alan menghela napas dalam-dalam.

“Kalian benar. Aku memang terlibat dalam kasus itu.” Aku dan Jo saling menahan napas mendengarnya. Alan mulai membuka mulutnya.

“Namanya Sarah. Malam itu, ada pesta di Black Rose dan semuanya mabuk. Ia dibawa ke belakang bar oleh beberapa laki-laki disana. Kejadiannya begitu cepat. Ia mengaku sempat minta tolong tapi tak ada yang mendengar. Aku bermaksud menolongnya, Jo, Alex, sungguh.. Tapi salah satu pelakunya anak atasanku…” Aku dan Jo saling berpandangan. Korban kedua anak anggota dewan itu yang Alan maksud rupanya. Perempuan ini memang hanya mengincar pelaku pemerkosaannya saja. Diam-diam aku sedikit berempati dengan perempuan ini.

“Aku masih junior dan karirku dipertaruhkan. Apa yang akan kalian pilih jika ada di posisiku? Aku tak akan pernah lupa tatapannya padaku hari itu. Dari awal kasus ini terjadi, aku sudah curiga. Aku familiar dengan korban-korban ini.. Apalagi dengan suratnya yang terakhir.. Ia benar-benar mengincarku! Akulah yang targetnya terakhir! Demi Tuhan, aku benar-benar tak bisa tidur. Sungguh! Ia akan dan bisa membunuhku kapan saja. Aku takut dengannya.. Aku tahu aku bersalah…” Alan tertunduk lemah setelah menyelesaikan ceritanya.

“Kita harus cepat menangkapnya, Lan. Ia benar-benar mengincarmu.” Kata Jo sambil menepuk pundak Alan. Keheningan kembali menyelimuti kami yang bersahut-sahutan dengan isak tangis Alan. Malam itu, semua menjadi jelas. Beberapa hari kemudian, aku bertatap muka dengannya. Perempuan itu kuakui memang cantik. Bahkan dengan raut wajah lelah dan tubuhnya yang terbalut kaus narapidana seperti ini sekalipun, ia masih tetap menarik. Aku bisa membayangkan bagaimana ia menggoda para korbannya yang mata keranjang itu ke tempat eksekusi yang telah ia siapkan sebelum akhirnya ia tancapkan pisau itu ke tenggorokan dan perut mereka. Aku menatap iba kepada Sarah. Ia masih semester 5 di perkuliahan untuk mengejar cita-citanya menjadi seorang dokter kala hal itu terjadi. Kejadian itu jelas menghancurkan hidupnya yang masih panjang. Alan hanya bisa menunduk dan berusaha keras untuk tak memandang ke arah Sarah. Sekali lagi, aku menjadi saksi kerumitan dunia kejahatan yang kelam dan dimensional. Sarah membungkam mulutnya sejak prosesi penangkapan hingga saat ini. Tatapannya tajam dan dingin. Penyidik itu bertanya hal yang sama sekali lagi setelah 3 kali tak digubris oleh Sarah. Dengan raut muka yang dingin itu, hanya ada satu kalimat yang meluncur dari mulut Sarah.

“Namaku Sarah dan aku adalah korban disini…”

 


Aku melangkah masuk ke dalam ruangan atasanku. Sudah 3 bulan aku kembali ke kota lamaku. Kasus penggelapan uang itu memang hampir saja membuatku kehilangan pekerjaanku karena kuabaikan. Beruntung, aku berhasil menyelesaikannya sesuai tenggat waktu terakhir yang diberikan atasanku. Aku hanya berharap, panggilan untuk menghadapnya kali ini bukan karena ia berubah pikiran atas nasib karirku. Seperti biasa, ia terlihat menyeramkan.

“Aku punya berita bagus untukmu.” Katanya sambil memberikan sebuah berkas kepadaku.

“Baik baik dengannya. Ia punya banyak pengalaman dan kau akan sering bekerjasama dengannya.” Kubaca berkas itu dengan pelan-pelan. Ada anak baru rupanya. Namun, yang membuatku hampir berteriak bukan karena fakta aku mendapatkan partner baru di pekerjaan ini. Akan tetapi, fakta bahwa foto dalam berkas itu berisikan raut wajah yang familiar bagiku 3 bulan sebelumnya. Raut wajah yang menemaniku di saat sulit dan menegangkan di kota sebelumnya.

Ya. Partner baruku adalah Jo.



 


Leave a comment