Sold Out Slave: Sebuah Film Tentang Fenomena Anak yang Dilacurkan di Kenya

Berdasarkan laporan NGO di Kenya, pada 2009, terdapat 50.000 anak di Kenya terlibat dalam prostitusi di bawah umur. Kebanyakan dari “pelanggan” adalah warga Kenya sendiri, dan juga warga dari Jerman, Inggris, dan Amerika. Pada 2012, dilaporkan bahwa seseorang bisa melakukan aktivitas seksual dengan membayar $25 pada anak perempuan yang berusia 12 tahun.[1]  Fenomena tersebut disebabkan kondisi hidup yang sulit, kondisi yang sangat miskin. Sekitar setengah dari populasi hidup di bawah garis kemiskinan. Wisata seks sangat berkembang dan menjadi faktor utama merebaknya eksploitasi seksual di mana Kenya adalah salah satu dari lima negara terbesar tempat terjadinya pelecehan pada anak. Meskipun hal itu ilegal, prostitusi anak sangat umum ditemukan. Anak dengan usia yang sangat dini dibayar untuk melakukan kegiatan seksual, di mana pekerjaan itu satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sebuah film dokumenter yang berjudul “SOS: Sold Out Slaves. Kenya’s Growing Child Prostitution Crisis” menceritakan sebuah fenomena anak yang dilacurkan merupakan hal yang sangat nampak pada kehidupan sehari-hari. Film dokumenter ini yang hanya berdurasi sekitar 30 menit dirilis pada 12 Februari 2016 yang dimuat dalam situs resmi RT Documentary[2]. Jadi, dalam film ini kita dapat melihat sebagian besar dari realita anak yang dilacurkan dengan waktu yang terbilang singkat.

Film ini diambil untuk mengetahui apa saja yang telah berubah sejak saat itu dan apa saja upaya yang telah dilakukan oleh organisasi-organisasi sosial yang seharusnya melindungi anak-anak tersebut. Dalam film ini diceritakan bahwa berdasarkan perundangan di Kenya, anak di bawah umur tidak diperbolehkan bekerja. Namun faktanya banyak anak yang putus sekolah karena faktor ekonomi dan bekerja secara ilegal. Anak yang tidak punya pengasuh (orang tua, wali, dll.) sering berakhir tinggal di tempat yang rentan akan kekerasan. Dalam kondisi mengerikan seperti itu, banyak anak yang terpaksa bekerja dalam dunia prostitusi agar mampu bertahan hidup. Mereka menggantungkan hidupnya di tempat yang rentan akan kekerasan dan bermacam penyakit setiap harinya. Ironisnya, anak-anak yang dilacurkan tersebut beresiko memiliki anak dari pekerjaannya yang nantinya akan mengikuti jejak orang tuanya bekerja di dalam dunia prostitusi. Hal ini terus berlanjut dan berulang seperti sebuah siklus gelap yang menghantui anak-anak di Kenya.

Ada beberapa hal yang membuat film ini terasa gagal. Film ini bertujuan memberikan pengetahuan bagaimana realita-realita yang terjadi di Kenya dan apa saja penyimpangan-penyimpangan yang mungkin dilakukan oleh organisasi yang seharusnya melindungi anak-anak tersebut. Tetapi, film ini justru terkesan menghidupkan dan mempromosikan wisata seks di Kenya. Hal itu dibuktikan dengan adanya salah satu adegan di mana seseorang memukul pantat dari seorang perempuan pekerja seks. Kemudian, dalam film ini juga kurang memperhatikan etika pada informan. Informan yang dimaksud adalah anak-anak yang bersedia sebagai narasumber dalam film ini. Sangat jelas pada film ini sering menampilkan wajah informan tanpa disensor. Film ini menampilkan realita fenomena anak yang dilacurkan di Kenya. Melalui film ini, setidaknya dapat membuka wawasan kita tentang isu-isu kekerasan pada anak.

[1] Naomi Conrad, “Fighting to save Kenya’s child prostitutes,” Deutsche Welle, July 31, 2012. Bisa diakses pada http://www.dw.com/en/fighting-to-save-kenyas-child-prostitutes/a-16130888. Untuk statistik lebih lanjut tentang anak yang dilacurkan bisa diakses pada http://www.havocscope.com/tag/child-prostitution.

[2] RT Documentary adalah saluran film dokumenter yang dibuat oleh salah satu media Rusia yang disajikan menggunakan bahasa Inggris dan Rusia. Situs tersebut membawakan cerita atau peristiwa di seluruh dunia yang bertujuan untuk menginspirasi dan memberikan edukasi (pengetahuan). Film lain juga bisa diakses pada situs https://rtd.rt.com

Oleh: Alauddin Muhammad


Leave a comment