Perjuangan Tanpa Penghujung

“Diam tertindas atau bangkit melawan, karena diam adalah pengkhianatan. Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan, rakyat pasti menang!”

“Nawa citamu! Nawa dukamu!”

Begitu gemuruh suara kaum hawa dalam mengutarakan laungnya tepat pada hari perempuan sedunia, 8 Maret 2016 lalu. Berjalan sambil bercucuran keringat dimulai dari Patung Kuda menuju Istana Negara, tidak sedikitpun menyurutkan antusiasme mereka. Berbagai orasi terdengar hingga sudut kota, berharap yang berkuasa terdedah. Sepertinya memang tidak akan ada kata berhenti bagi mereka untuk memperjuangkan apa yang mereka sebut prerogatif. Hampir semua perempuan setuju, mereka bukan bermaksud menuntut hak keistimewaan, melainkan keseimbangan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa tak akan ada pembebasan kaum buruh tanpa pembebasan perempuan. Itu artinya mayoritas aksi yang ditujukan oleh solidaritas kaum perempuan sangat berkolerasi dengan buruh-buruh itu sendiri. Mereka bersatu meyongsong keadilan sebagai kelompok yang “tertindas”. Terbukti pada hari itu KSBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia) ikut ambil alih dalam aksi. Selain itu, perempuan petani, perempuan nelayan, perempuan buruh migran, serta aktivis perempuan juga turun serentak.
Aksi yang dihiasi orasi, tarian, nyanyian, hingga musikalisasi puisi ini mengingatkan kita kembali kepada hal-hal yang sejatinya menjadi persoalan publik, khususnya perempuan. Pelayanan buruk di wilayah-wilayah terpencil seperti Papua, masalah pendidikan, meningkatnya kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak, hingga soal diskriminasi terhadap kelompok LGBT.

Tidak berbeda jauh dengan aksi-aksi yang dilakukan oleh para pejuang perempuan lainnya, aksi kemarin menuntut pemerintah dan parlemen menghentikan segala bentuk ketimpangan yang berujung pada kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia. Mereka juga mendesak untuk dijaminnya kebebasan berekspresi, berpendapat, jaminan keamanan terhadap agama atau keyakinan, serta kelompok dengan segala orientasi seks.

Data Komnas Perempuan menunjukkan, sepanjang 2015 kekerasan tidak hanya terjadi di wilayah domestik, melainkan telah meluas di berbagai ranah termasuk di wilayah publik. Berdasarkan jumlah kasus yang didapat dari 232 lembaga mitra Komnas Perempuan di 34 provinsi, terdapat 16.217 kasus yang berhasil didokumentasikan. Kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol terjadi di ranah personal. Catatan Tahunan 2016 menunjukkan terjadi kenaikan data jenis kekerasan seksual di ranah personal dibanding tahun sebelumnya, yakni 11.207 kasus. Di ranah komunitas, terdapat 5.002 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 1.657 kasus di antaranya jenis kekerasan seksual.

Satu hal yang menarik perhatian ialah terdapat beberapa transgender yang ikut turun dalam aksi kemarin. Salah satu dari mereka berorasi menumpahkan kegelisahannya sebagai WNI yang cenderung masih diasingkan dalam kehidupan sosial. Mereka menuntut diakuinya keberadaan mereka tanpa perlu adanya pembedaan sangkaan dengan individu lainnya. Aksi kemarin menegaskan, hari perempuan sedunia mencakup seluruh elemen yang menuntut keadilan, tidak memandang apapun identitas gender mereka.

Setiap tahunnya, pada hari yang bertepatan dengan hari perempuan sedunia, berbagai komunitas maupun organisasi selalu terlihat turun ke jalan menyatakan sikap. Selama impian mereka belum terealisasi dan masih ada pelaku yang mematahkannya, perjuangan para penyintas tak akan kenal kata tuntas.

Referensi:http://nasional.kompas.com/read/2016/03/07/17453241/Komnas.Perempuan.Mencatat.16.217.Kasus.Kekerasan.terhadap.Perempuan.pada.2015

Oleh: Destya Galuh Ramadhani


Leave a comment